Masjid Agung Magelang
Masjid Agung Magelang
Assalamualikum wr wb ,kembali lagi bertemu
dengan kami ,pada kesempatan kali inikami akan membahas tentang sejarah singkat
Masjid Agung Magelang berikut singkt ceritanya .
Masjid ini adalah salah satu saksi sejarah pergantian era
kepimpinan dari masa ke masa,mulai dari Kolonial Belanda, Jepang dan era pasca
kemerdekaan. Tidak banyak memang sumber yang bisa mendeskripsikan mengenai
sejarah bangunan ini. Dari beberapa informasi baik itu yang tertuang dalam buku
kuno peninggalan Belanda maupun saksi sejarah, kita berusaha mencari tahu
mengenai sejarah berdirinya masjid ini.
Menurut salah
seorang saksi sejarah yang juga ketua takmir masjid kauman, H Djauhari. Masjid
tersebut didirikan sekitar tahun 1650 oleh seorang tokoh ulama dari Jawa Timur
KH Mudakir (dimakamkan di belakang masjid). Pada awal berdirinya bangunan
tersebut belum semegah sekarang, hanya berbentuk musala kecil kalau orang
dahulu menyebutnya langgar. Pertama berdiri fasitasnya pun sangat terbatas,
disana belum disediakan tempat wudhu. Hal ini dikarenakan pada masa itu Kota
Magelang belum bisa teraliri air. Jamaah dan masyarakat yang akan salat disana
mengambil air wudhu di Sungai Progo yang jaraknya sekitar 1 km dari langgar
tersebut.
“Baru tahun 1779
ada sumur didekat masjid dan bisa digunakan untuk wudhu,” ujar H Djauhari yang
juga pensiunan pegawai Telkom ini.
Baru pada tahun
1797 bangunan tersebut mengalami pemugaran. Pemugaran dilakukan dengan menambah
mimbar untuk khotbah dan tiang (soko) guru yang terbuat dari kayu jati yang
didatangkan dari Bojonegoro. Pemugaran ini tertera dalam prasasti yang ditulis
dengan dua bahasa yaitu bahasa Arab dan Belanda, hingga sekarang prasasti
tersebut terawat dengan baik dan berada di dalam masjid.
Menurut buku
berbahasa Belanda yang disarikan oleh salah seorang pemerhati kota toea yang
juga kandidat Doktor Tehnik arsitektur dan perencanaan Universitas Gadjah Mada,
Wahyu Utami. Bupati Magelang pertama yaitu RA Danoeningrat I, tahun 1810
membangun langgar tersebut menjadi sebuah masjid. Walaupun dibuat menggunakan
arsitektur Belanda namun bangunan itu masih belum berbentuk sekarang. Nantinya
masjid ini masih mengalami pemugaran hingga berbentuk megah seperti yang
dilihat saat ini.
Pada masa
pemeritahan Bupati Magelang ke II yaitu RAA Danoeningrat II, tahun 1835
bangunan ini mengalami pemugaran. Pergantian pemerintahan, bupati ke III yaitu
RAA Danoeningrat III masjid yang berdiri di atas lahan seluas 3200 meter
persegi ini pun kembali mengalami pemugaran. Tepatnya tahun 1871 dimasjid ini
ditambah serambi muka dan menara kecil di depan masjid (bukan menara seperti
sekarang). Seperti pendahulunya bupati ke IV yaitu Danoekoesoemo juga kembali
menambah beberapa bagian masjid.
Baru pada masa
pemerintahan Bupati ke V yaitu RAA Danoesoegondo masjid ini mengalami pemugaran
besar-besaran yang dilakukan pada tahun 1934. Untuk pemugaran tersebut, bupati
ke V juga bertindak sebagai ketua pembangunan menggunakan bantuan biro arsitek
berkebangsaan Belanda yaitu Heer H Pluyter. Pemugaran tersebut menghasilkan
bangunan masjid seperti yang terlihat sekarang (minus menara di depan masjid).
Ditambahkan H
Djauhari pada tahun 1991 pada masa wali kota dipegang oleh Bagus Panuntun
didirikan menara dengan ketinggian 24 meter dan tempat wudhu pria dan wanita
serta teras depan sehingga bangunan tersebut nampak persis seperti yang kita
lihat sekarang.
Pada masa perang
kemerdekaan, masjid ini juga menjadi salah satu saksi sejarah. Masjid ini
sempat dijadikan markas tentara rakyat yang akan berperang dengan Belanda. Pada
masa Klas pertama yang terjadi pada sekitar tahun 1947 masjid ini dijadikan
persinggahan tentara rakyat yang berasal dari Surabaya dan Madura.
Tentara dari
berbagai daerah tersebut akan menuju Parakan untuk meminta senjata dan doa dari
seorang ulama yang bernama Kyai Subechi. Dari Magelang mereka naik kereta
menuju Parakan. Untuk mencukupi logistic tentara, didirikan dapur umum yang
berada di Kampung Kejuron, Kelurahan Cacaban Kecamatan Magelang Tengah.
“Saat itu saya
berumur 12 tahun, dan masih ingat persisnya seperti apa. Daerah sekitar masjid
merupakan basisnya pejuang kemerdekaan,” terang bapak 5 orang anak ini.
Pada saat terjadi
klas kedua yaitu tahun 1948, masjid ini sempat mengalami kerusakan pada bagian
atap dan tembok sebelah utara. Kerusakan ini diakibatkan serangan tentara
Belanda dan tentara bayaran Ghurka. Masjid yang dijadikan maskar tentara
perjuangan ini dibombardir dengan maksud untuk menghancurkan pejuang
kemerdekaan.
Kiblat Masjid ini
merupakan salah satu dari 3 masjid di Jawa Tengah yang mempunyai kiblat lurus
dengan Mekah, dua masjid lainnya adalah masjid di Grobogan dan Masjid Agung
Jawa Tengah. Walau sudah berulang kali mengalami pemugaran kiblat masjid ini
tidak pernah dirubah sejak pertama didirikan oleh KH Mudakir.
Pada saat
didirikan oleh bupati pertama, kepengurusan dilakukan oleh bidang kepenghuluan.
Setelah Departemen Agama (Depag) berdiri sekitar tahun 1945 masjid ini dikelola
oleh Depag. Baru pada tahun 1960 terbentuk kepengurusan takmir masjid.
Setelah terbentuk
kepengurusan takmir masjid, kegiatan keagamaan kian tertata dan maju. Salah
satu tradisi yang masih terjaga hingga sekarang adalah pahingan yang dilakukan
selapan (36 hari) pada hari Minggu pahing. Kegiatan ini dilakukan mulai tahun
1967, jamaah yang datang pun bukan hanya dari Kota Magelang melainkan dari luar
kota. (Bhekti Wira Utama).
Itulah sedikit
informasi tentang Masjid
Tua Palopo ,Untuk itu bagi
anda yang ingin membangun maupun merenovasi masjid, percayakan semua kepada
kami.dengan begitu hasil bangunan kubah bisa maksimal dari seluruh aspek ,kami
sudah berpengalaman lama dalam bidang ini .
Mau
membangun Kubah Masjid yang bahan GRC atau enamel bisa mudahcaranya
silahkan hubungi kami untuk konsultasi desain, harga dan cara memulai
pekerjaan.
Kami
sudah memiliki banyak pengalaman mengerjakan kubah masjid baik di perkotaan
maupun di pedesaan, bahkan sampai ke pelosok pedalaman.
HUBUNGI NO WA 0812-1572-277
(T_Sel)